Oleh: Nazli M.
(Anak Dusun)
Kalimat bisa jadi peluru. Dan sayangnya, peluru itu ditembakkan oleh Humas PT Delimuda Perkasa (DMP) sendiri.
Ucapan Bakorian Sihotang, Humas perusahaan itu, viral di Batanghari dan memicu gelombang kecaman: “Kalau kebun dicuri masa dibiarkan saja, saya doakan rumahmu dirampok, nanti kita lihat reaksimu,” disusul hinaan, “Kalian cuma media seratus ribu, media abal-abal.”
Itu bukan sekadar salah bicara, tapi itu arogansi.
Dan lebih dari itu, itu bentuk kebangkrutan moral komunikasi korporasi.
Seorang humas seharusnya menjadi wajah sopan dari perusahaan, bukan cermin kemarahan. Humas bertugas menjaga hubungan, bukan menghancurkannya. Tapi ketika yang keluar justru ancaman dan penghinaan, publik akan bertanya: kalau juru bicaranya searogan ini, bagaimana dengan manajemennya?
Yang lebih memprihatinkan, PT DMP hingga kini bungkam. Tidak ada klarifikasi, tidak ada penyesalan. Dalam dunia komunikasi publik, diam bukan netral, diam berarti setuju. Ketika perusahaan membiarkan ucapan tidak etis dari wakil resminya, itu berarti perusahaan ikut menanggung dosanya.
Pernyataan humas yang membenarkan tindakan di luar hukum dan menghina wartawan jelas menabrak dua hal: hukum dan akal sehat. UU Pers No. 40/1999 menjamin kebebasan jurnalis, sementara KUHP melarang penghinaan. Tapi bahkan tanpa undang-undang pun, kita tahu: menghormati profesi lain adalah soal karakter.
PT DMP seharusnya segera bertanggung jawab.
Minta maaf secara terbuka. Evaluasi pejabat humasnya. Dan belajar bahwa komunikasi bukan tentang siapa yang paling keras bicara, tapi siapa yang paling bijak menjaga kata.
Karena dalam dunia modern, reputasi bisa hancur bukan karena kesalahan besar, tapi karena satu kalimat bodoh dari mulut yang merasa berkuasa.(*)
Discussion about this post